Poto : Praktisi Hukum, Maraihut Simbolon, SH
Medan - Temposumut.com l Praktisi hukum Maraihut Simbolon SH menegaskan, penghentian proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran hukum. Bahkan menurutnya, banyak peraturan perundang-undangan yang dilanggar bila menghentikan kasus seperti ini.
Penegasan tersebut disampaikan Maraihut Simbolon, Senin (24/03/2025).
terkait dugaan mandegnya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak usia 15 tahun di Polres Batubara.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan ini, diduga dilakukan oknum pegawai perusahaan BUMN, yakni PT Inalum berinisial TTBP. Kasus ini dilaporkan SDW, ibu kandung korban ke Polres Batubara, 16 Februari 2025, persis saat peristiwa kekerasan seksual itu terjadi.
Kasus ini jadi sorotan publik, akibat proses penanganannya yang dilakukan Polres Batubara begitu lambat. Terbukti, meski sudah hampir dua bulan setelah dilaporkan, tapi sampai saat ini tindaklanjut penanganannya belum terlihat secara signifikan.
Maraihut Simbolon yang sehari-hari berprofesi sebagai pengacara itu menguraikan, kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam pasal 76D dan 76E UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Di dua pasal ini, ditegaskan larangan bagi setiap orang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
DELIK BIASA
Maraihut Simbolon lebih jauh menjelaskan, proses hukum tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, tidak harus didasari pada laporan pengaduan korban. Malah, setiap orang yang mengetahui dugaan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak, dapat membuat laporan ke polisi.
Tanpa ada laporan sekalipun baik dari korban maupun dari masyarakat, kata Maraihut, kepolisian harus melakukan pengusutan kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan, polisi dapat menindaklanjuti kasus kekerasan seksual terhadap anak meski mendapatkan informasi hanya dari media.
"Ini akibat tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak termasuk dalam kualifikasi delik umum atau delik biasa (gewone delicten). Kejahatan ini dapat diproses pemidanaannya tanpa ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Beda dengan kejahatan delik aduan (klacht delicten), hanya dapat diproses bila ada pengaduan dari orang yang dirugikan," jelasnya.
Maraihut Simbolon menjelaskan, pengkualifikasian kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai delik umum/delik biasa, diatur secara khusus dalam pasal 53 sampai dengan pasal 66 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurutnya, kedua UU yang mengkualifikasikan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai delik umum/delik biasa, merupakan instrumen hukum yang dibuat negara sebagai bentuk komitmen untuk memberikan perlindungan kepada anak dalam kerangka hukum hak asasi manusia.
Selain itu, dalam rumusan pasal 285 KUHP, juga diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.
TIDAK BISA DISELESAIKAN DALAM PERDAMAIAN
Maraihut Simbolon melanjutkan, kekerasan seksual terhadap anak juga tidak dapat dicabut atau dihentikan dengan alasan terjadinya perdamaian antara keluarga korban dengan pelaku. Ini diatur dengan jelas pada pasal 23 UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Di pasal ini, ditegaskan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaiannya di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang," jelas Maraihut yang lama menggeluti dunia jurnalistik.
Sehubungan dengan itu, Maraihut Simbolon mempertanyakan, apa yang menjadi alasan hukum bagi Polres Batubara, sehingga begitu lamban menindaklanjuti kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oknum pegawai PT Inalum tersebut.
SANKSI PIDANA
Ada banyak regulasi yang menjerat pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Perppu No 1 tahun 2016 yang disahkan dengan UU No 17 tahun 2016, menyebutkan bahwa, pelaku kekerasan seksuai terhadap anak dipidana penjara minimal lima tahun, seumur hidup hingga pidana mati.
Bahkan, Maraihut Simbolon yang pernah menggeluti dunia jurnalistik mengatakan, pelaku juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
PERBANDINGAN
Sebagai perbandingan, kasus kekerasan seksual terhadap anak pernah juga ditangani Polres Brebes tahun 2023 lalu. Ketika itu, polisi menangkap enam terduga pelaku pemerkosaan.
Kasus ini bahkan sempat mendapat perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang ketika itu dijabat Bintang Puspayoga.
Ketika itu, Menteri menegaskan, tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena akan bertentangan dengan undang-undang.
Untuk itu, lanjut Menteri, pihak kepolisian perlu menuntaskan kasus kekerasan seksual dalam rangka penegakkan hukum melindungi korban pemerkosaan dan membuat efek jera para pelakunya.
"Pada awalnya kami sangat prihatin dengan proses penyelesaian kasus pemerkosaan terhadap anak usia 15 tahun yang berakhir damai setelah proses mediasi oleh LSM. Proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual menciderai rasa keadilan korban. Untuk itu, kami memberikan apresiasi kepada Polres Brebes dan pihak-pihak terkait yang sudah menangkap enam terduga pelaku pemerkosaan untuk bisa diproses secara hukum," ujar Menteri PPPA, Kamis 19/1/2023. (Tim)